mampiiiiiiiiirrr

Rabu, 08 Januari 2014

KASUS KARYAWAN ANGKASA PURA I

Masih ingatkah Anda dengan kasus Angkasa Pura I? Kasus ini mengenai pemecatan sejumlah karyawan Angkasa Pura karena berunjukrasa dan kemudian dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Dan ternyata, sekarang kasusnya akan dihentikan kasus tersebut karena dinalai tidak cukup bukti.

"Kasusnya ini sudah dari tahun 2008, kita lihat malah ada upaya meng-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kasus," kata Ketua Umum Serikat Pekerja AP I, Itje Julinar kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Kamis (18/6/2009).

Hal itu terlihat dari Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang diterima Serikat Pekerja AP I pada 15 April 2009. Dalam SP2HP tersebut penyidik menyampaikan bahwa pihaknya telah memanggil saksi ahli dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).

"Disitu disebutkan bahwa Dirut AP I, Bambang Darwoto hanya mengambil kebijakan dengan menskorsing para karyawan yang mogok selama 3 bulan yang tidak berakibat pada hubungan status kerja atau tindakan PHK," kata Itje.

Terkait status Arif Islam, Pegawai Negeri SIpil (PNS) yang diperbantukan di PT AP I dan yang ditugaskan di Bandara Sepinggan Balikpapan, Kalimantan Tengah, saksi ahli menyebutkan bahwa Arif tidak diberhentikan melainkan dikembalikan ke instansinya di Departemen Perhubungan (Dephub).

Serikat Pekerja (SP) AP I menyatakan keberatannya dengan SP2HP yang dilayangkan penyidik terhadap mereka. Menurut Itje, tindakan manajemen AP I itu adalah tindakan yang tidak fair.

"Mogok kerja oleh SP AP I yang dilakukan secara serentak di beberapa bandara semata-mata dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak para pekerja akibat inkonsistensi pihak manajemen," ujarnya.

Itje menilai, tindakan memutasi Arif Islam juga merupakan tindakan balasan dari pihak manajemen. "Tujuan utama dari hukuman mutasi yang diberikan kepada Arif adalah agar Arif tidak dapat lagi menjalankan kegiatannya selaku pengurus SP AP I," bebernya.

7 - 9 Mei 2008 silam, ribuan karyawan AP I melakukan mogok kerja terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB) anatara SP I dengan pihak manajemen AP I. Namun, setelah melakukan aksi tersebut, puluhan karyawan yang tergabung dalam SP AP I, di-PHK.

Kasus ini dilaporkan Itje pada 14 Mei 2008 lalu ke Mabes Polri, dan dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Dalam laporannya, Itje mengadukan Direktur Bambang Darwoto karena menghalangi pekerja untuk mogok, dan menjatuhkan sanksi kepada serikat buruh dan karyawan yang mogok.

Pelanggaran yang dimaksud yaitu pelanggaran terhadap Pasal 143 dan 144 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Pasal 28 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja. "Kami hanya menuntut hak kami," kata Itje.

Sumber :



KASUS IKLAN KLINIK TONGFANG
Pada rapatnya di bulan November 2011, Badan Pengawas Periklanan (BPP) P3I telah menemukan satu kasus iklan Traditional Chinese Medication (TCM) yaitu iklan Cang Jiang Clinic. BPP P3I saat itu menilai bahwa iklan tersebut berpotensi melanggar Etika Pariwara Indonesia, khususnya terkait dengan:  Bab III.A. No.2.10.3. (tentang Klinik, Poliklinik dan Rumah Sakit) yang berbunyi: “Klinik, poliklinik, atau rumah sakit tidak boleh mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apa pun” dan Bab III.A. No.1.17.2. (tentang Kesaksian Konsumen) yang berbunyi: “Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya”.

Pada iklan Cang Jiang Clinic tersebut ditampilkan pemberian diskon (30%) bagi pembelian obat serta ditampilkan pula beberapa kesaksian konsumen mereka yang sangat tendensius melebih-lebihkan kemampuan klinik tersebut serta bersifat sangat provokatif yang cenderung menjatuhkan kredibilitas pengobatan konvensional.

Untuk memastikan adanya pelanggaran tersebut, maka BPP P3I telah mengirimkan surat kepada Persatuan Rumah-Sakit Indonesia (PERSI) dan mendapatkan jawaban bahwa PERSI sependapat dengan BPP P3I sehingga pada bulan Maret 2012, BPP P3I telah mengirimkan surat himbauan kepada KPI untuk menghentikan penayangan iklan tersebut.

Masalah Cang Jiang Clinic ini belum tuntas, ketika lalu muncul iklan Tong Fang Clinic yang jauh lebih gencar (dan ditayangkan di lebih banyak stasiun televisi dan dengan frekuensi yang jauh lebih sering).  Isi pesan iklannya sangat mirip dengan iklan Cang Jiang Clinic. BPP P3I kemudian melayangkan surat himbauan yang senada kepada KPI pada bulan Juli 2012.

Sepanjang bulan Juli 2012, iklan Tong Fang Clinic ternyata sangat ramai menjadi pergunjingan masyarakat umum; baik melalui media-media sosial maupun pengiriman SMS dan Blackberry Messenger. Bahkan, kata kunci “Tong Fang” sempat menjadi topik yang paling sering disebut (‘trending topic’) di twitter, bukan saja di area Indonesia, tapi di seluruh dunia (lintas.me, 6 Agustus 2012).

Dari sudut ilmu komunikasi, bisa saja orang lalu menilai bahwa klinik tersebut telah mendapatkan tingkat ‘awareness’ yang sangat tinggi. Hal tersebut memang tidaklah dapat dibantah. Jutaan kicaun masyarakat tersebar di berbagai jenis media terkait dengan iklan klinik tersebut. Tapi, mari kita coba lihat isi dari beberapa kicauan tersebut (dikutip dari beberapa posting di twitter).
> Dulu muka saya ada jerawat satu, seteleh ke klinik Tong Fang muka saya jd bnyak jerawat.Trimakasih TongFang
> Dulu pacar saya di rebut orang, namun setelah saya ke klinik TongFang sekarang saya jd rebutan pacar orang, terima kasih TongFang
> Dulu saya Raja Dangdut, setelah ke Klinik Tong Fang kini saya jadi Raja Singa. Terima Kasih Tong Fang
> Dulu saya dipanggil anak SINGKONG. Setelah Konsul ke Klinik Tong Fang skrg saya dipanggil anak KINGKONG. TerimaKasih TongFang
> Dulu Kakak PEREMPUAN sy slalu telat ke KAMPUS, setelah 5 kali ke Klinik Tong Fang skarang Kakak sy TELAT 3 bulan, Trims Tong Fang
> Sudah 3thn sy menderita SAKIT kepala sebelah. Setelah sy berobat ke klinik Tong Fang, kini kepala saya TINGGAL sebelah.TerimaKasih TongFang
> Dulu saya bau KAKI, setelah 3X ke Klinik Tong Fang, sekarang klinik mereka BAU kaki saya. Mohon Maaf Tong Fang MATA sya slalu MERAH krn sring naek mtor, smnjak ke klinik TongFang MOTOR sya HILANG jd mata sya sdh tdk merah lgi.Thx TongFang
> Dlu saya tdk tau tong fang,stelah bnyk BM tong fang, BB saya semakin menjadi sampah

Di twitter juga muncul banyak akun baru yang sekedar bertujuan untuk mengakomodasi lelucon tentang “Tong Fang”. Misalnya: akun @KlinikTongfang dengan 15.218 pengikut dan @KliinikTongFang dengan 61,091 pengikut (data pengikut/’follower’ terhitung tanggal 9 Agustus 2012) serta banyak akun lainnya. Padahal akun-akun itu usianya belum lebih dari 2 bulan.

Apakah kicauan masyarakat tersebut sebenarnya hanya sekedar ‘iseng’ dan semacam jadi ‘lomba kreatifitas’ mereka saja? Saya sangat percaya bahwa bukan itu permasalahannya.

Tidak perlu menjadi seorang pakar komunikasi untuk memahami bahwa dibalik lelucon-lelucon yang dikreasikan oleh berbagai kalangan masyarakat, ada satu pesan penting yang ingin disampaikan oleh masyarakat terhadap iklan Tong Fang Clinic: IKLAN ITU SENDIRI ADALAH SATU LELUCON BESAR!!

Suatu iklan (dari produk apapun juga), pastilah mengandung unsur JANJI dari si pengiklan kepada khalayak yang disasarnya. Sungguh sangat disayangkan bahwa ternyata janji yang ditawarkan oleh iklan Tong Fang Clinic dinilai tidak lebih dari sekedar lelucon! Dan, tidak perlu berpikir terlalu mendalam untuk memahami bahwa dibalik ‘lelucon’ yang ada dalam iklan tersebut, masyarakat menilai ada KEBOHONGAN BESAR.

Dalam konteks ini, tingkat ‘awareness’ yang tinggi dari iklan Tong Fang Clinic sebenarnya malah memberikan dampak yang sangat negatif terhadap citra dari klinik itu sendiri. Cukup mengherankan bahwa pihak klinik Tong Fang tidak segera melakukan koreksi, bahkan terkesan ‘santai-santai’ saja (baca Merdeka.com, 9 Agustus 2012 08:06:00: “Diolok-olok di Twitter, ini jawaban klinik Tong Fang”). Beberapa pemilik akun twitter bahkan sudah ada yang sampai tingkat ‘marah’ karena mereka sangat memahami bahwa olok-olokan tersebut sangat menjatuhkan citra klinik Tong Fang. Dan lebih parahnya, dapat dengan sangat mudah diprediksi, citra ini akan merembet kepada seluruh klinik tradisional Cina (TCM).

Tekanan terhadap kasus di atas tidak saja datang dari masyarakat. Pemerintahpun akhirnya harus turun tangan.. Misalnya: Merdeka.com pada 9 Agustus 2012 06:47:00 mengangkat artikel “Dinas Kesehatan DKI larang iklan Klinik Tong Fang” dan Okezone.com pada 8 Agustus 2012 23:46 mengangkat artikel “DPR Soroti Praktik Klinik Tong Fang”.

Bila saat ini masyarakat (dan pemerintah) jadi tidak percaya kepada iklan klinik Tong Fang, siapakah yang akan dirugikan? Pertama-tama mungkin memang hanya akan berdampak pada klinik Tong Fang dan TCM lainnya. Tapi, dampak ini bila sampai tidak diatasi dengan segera, akan membuat industri klinik  tradisional Cina tidak dapat berkembang, akibatnya mereka tidak lagi bisa beriklan. Di titik ini, media massa akan merasakan dampaknya pula.

Sangat disayangkan bahwa media-massa (khususnya televisi) mengabaikan himbauan dan teguran yang telah disampaikan oleh KPI untuk menghentikan iklan-iklan TCM yang provokatif tersebut sejak April 2012 (lihat www.kpi.go.id pada menu Imbauan, Peringatan dan Sanksi). Stasiun TV hanya berpikir jangka-pendek mengeruk dana iklan secepat-cepatnya padahal bila iklan tersebut justru akan ‘mematikan’ pengiklannya, maka stasiun TV akan kehilangan pendapatan di masa depannya.
Secara tidak langsung, keprihatinan masyarakat atas kasus ini seharusnya menjadi keprihatinan untuk seluruh kalangan periklanan dan komunikasi pemasaran pada umumnya juga. Kasus ini menambah panjang daftar materi komunikasi (iklan) yang dinilai “bohong” oleh masyarakat umum. Citra materi komunikasi (iklan) tercemar dengan adanya kasus ini.

Kitab Etika Pariwara Indonesia (dapat bebas diunduh di www.p3i-pusat.com/epi) dengan tegas telah mencantumkan 3 asas penting dalam membuat karya iklan; yaitu:
Iklan dan pelaku periklanan harus :
Jujur, benar, dan bertanggungjawab.
Bersaing secara sehat.
Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta  tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Tujuan dari penetapan asas tersebut adalah untuk melindungan industri periklanan agar tetap dapat dipercaya oleh konsumen/masyarakat. Iklan bukanlah ‘barang haram’. Iklan dapat memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat bila ia disampaikan dengan isi dan cara yang etis.

Banyak pihak menyatakan bahwa tidaklah mudah membangun citra yang positif dari suatu produk/merek. Butuh tahunan, bahkan puluhan tahun untuk membangun suatu merek agar dapat diterima dengan positif oleh konsumen. Dan sekali citra tersebut terkoyak, akan jauh lebih sukar lagi untuk mengangkatnya kembali. Bahkan, cukup satu kasus sederhana untuk ‘mematikan’ satu merek.

Seluruh komponen yang terkait dengan materi promosi/periklanan sepantasnya mendukung sepenuhnya penegakkan etika periklanan di Indonesia demi menjaga agar industri ini tetap dipercaya oleh masyarakat. Tanggung-jawab penegakkan etika ini bukanlah sekedar berada di tangan produsen/pengiklan dan biro-iklan/promosi mereka saja. Rumah produksi iklan dan media-massa juga berkewajiban mendukungnya. Rumah produksi dan media-massa harus ikut bertanggung-jawab bila mereka membuat dan menayangkan suatu produk iklan/promosi yang tidak etis.

Kasus ini seharusnya menjadi keprihatinan dari seluruh khalayak pemerhati komunikasi pemasaran.  Masyarakat kita yang sangat majemuk sudah semakin pandai menilai etis atau tidaknya suatu pesan pemasaran. Sudah bukan jamannya lagi mempromosikan segala sesuatu sebagai “kecap nomor 1”. Herannya, sampai dengan saat ini, masih ada iklan Tay Shan TCM!!

Sumber :

KASUS ETIKA BISNIS INDOMIE DI TAIWAN
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.

Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.

Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.  Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.

Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di  Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.

A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.

Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.

Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.

Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

Sumber :


WHISTLEBLOWER KASUS SOLAR PT. GANDA SARI CARI KEADILAN
Menjadi "whistleblower" dalam kasus dugaan penggelapan solar bersubsidi di Bintan bukanlah pekerjaan yang ringan, apalagi pemilik perusahaan yang tersangkut, cukup terkenal di Kepulauan Riau.

Mar adalah mantan karyawan PT Gandasari Tetra Mandiri dan kini menyatakan siap membongkar kasus dugaan penyelewengan ribuan ton solar bersubsidi yang dilakukan perusahaannya.

"Whistleblower" per definisi adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi di dalam organisasi tempat yang bersangkutan bekerja, dan memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana tersebut.

Mar mulai menyuarakan pelanggaran yang dilakukan PT Gandasari setelah polisi menyita enam tanki dan kapal Aditya 01 milik AW, bos Gandasari Tetra Mandiri.

"Saya tahu, yang saya lawan ini bukan pengusaha kecil. Tetapi saya yakin keadilan tidak melihat harta yang dimiliki seseorang, karena di mata hukum semuanya sama," kata Mar di Rutan Tanjungpinang, Selasa (16/10) lalu.

Perlawanan Mar terhadap AW mulai terjadi 6 Agustus 2012. Saat itu, AW mengeluarkan surat menolak pembelian solar bersubsidi sebesar Rp167 juta yang dilakukannya.

Sehari kemudian, PT Gandasari Tetra Mandiri yang diduga tidak memiliki izin penyimpanan, pengangkutan, pembelian dan penjualan solar itu, melaporkan dirinya ke Polsek Tanjungpinang Timur.

Mar pun langsung ditangkap, dan diperiksa selama sehari sebelum ditahan di Mapolsek Tanjungpinang Timur. Proses hukum kini mengalir di Pengadilan Negeri Tanjungpinang, namun sidang belum dijadwalkan.

Bagi Mar, perusahaan itu telah mengkriminalisasi dirinya, karena uang tersebut berdasarkan perintah AW telah digunakan untuk membeli solar bersubsidi sebanyak 75 ton. Solar itu pun sudah digunakan sebagai bahan bakar kapal Calvin 27 dan Aditya 58 untuk mengangkut alat pengeruk batu bauksit ke Konolodale, Sulawesi Tengah.

Tetapi Mar dipaksa untuk mengaku kepada penyidik bahwa uang sebesar Rp167 juta itu digunakan untuk berfoya-foya.
"Setelah mengeluarkan surat penolakan, PT Gandasari membeli solar bersubsidi sebanyak 30 ton," katanya  didampingi Herman, pengacaranya.

Solar yang dibeli Mar berasal dari agen penyalur solar subsidi, oknum polisi dan oknum TNI. Sebenarnya, kata dia, solar itu untuk kepentingan nelayan, bukan untuk industri.

"Itu menjadi penyebab nelayan tidak melaut karena kesulitan mendapatkan solar," ujarnya yang mulai bekerja di PT Gandasari Tetra Mandiri pada 14 Agustus 2011.

Kasus penggelapan solar bersubsidi itu mengawali "peperangan" Mar dengan AW. Kesempatan untuk membalas perbuatan AW berstatus sebagai tersangka setelah polisi mengungkap dan menyita enam bunker dan kapal Aditya 01 di Sei Enam, Bintan, Kepulauan Riau (Kepri).

Mar pun siap menjadi tersangka dalam kasus penyelewengan solar bersubsidi yang dilakukan PT Gandasari Tetra Mandiri. Namun ia minta AW dan pihak lain yang terlibat dalam kasus itu mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya.
"Saya siap membeberkan seluruh pelanggaran yang dilakukan perusahaan itu, tetapi saya minta jaminan keamanan selama ditahan," katanya.

Mar mengaku mendapat intimidasi sejak ditahan di Polsek Tanjungpinang Timur. Ia diminta mengaku menggunakan uang PT Gandasari Tetra Mandiri untuk foya-foya.    

"Uang itu sudah digunakan untuk membeli solar, bukan untuk foya-foya," kata Mar.
Selain itu, kata dia, Mar yang merupakan saksi kunci dalam kasus penyelewengan solar yang diduga dilakukan PT Gandasari Tetra Mandiri diminta untuk tidak memberikan keterangan yang terlalu dalam. Padahal keterangannya telah menyeret sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus itu.

"Saya merupakan orang kepercayaan AW, bos PT Gandasari, yang ditugaskan untuk membeli solar dari agen penyaluran solar subsidi (APMS) di Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan," ungkap Mar.

Mar mengatakan, perdagangan solar bersubsidi untuk kepentingan industri bukan hanya dilakukan oleh antara perusahaan, melainkan juga oknum polisi dan TNI AL. Solar dari APMS tidak didistribusikan untuk kepentingan nelayan, melainkan "kencing" di tempat tertentu dan dijual kepada PT Gandasari.

"Saya sudah berulang kali diperintahkan oleh AW untuk membeli solar bersubsidi tersebut," katanya.
Sedangkan kuota untuk masing-masing APMS yang bekerja sama dengan PT Gandasari menggunakan jasa Tr, yang selalu berhubungan dengan pihak PT Pertamina. "Delivery order" dibuat oleh TR, kemudian diserahkan kepada PT Pertamina.

Penyelewengan solar bersubsidi itu menyebabkan nelayan tidak dapat melaut lantaran kesulitan mendapatkan solar.
"Masing-masing APMS mendapat jatah rata-rata 5 ton. Tetapi saya tidak tahu apakah ini melibatkan oknum di Pertamina atau tidak," katanya.

Mar menambahkan, PT Gandasari membeli solar itu dengan harga Rp6.200-Rp6.700/liter. Padahal harga solar subsidi untuk nelayan Rp4.500/liter, sedangkan solar untuk industri yang ditetapkan Pertamina sebesar Rp11.500/liter.

Nama perusahaan itu hanya digunakan untuk membeli solar bersubsidi, sedangkan penjualan solar menggunakan nama perusahaan lainnya yaitu PT Gandasari Shiping Line.

Kejahatan Luar Biasa

Pengamat ekonomi Provinsi Kepri, Winata Wira berpendapat, penggelapan solar yang diduga disubsidi oleh pemerintah tidak hanya sebatas pelanggaran pidana biasa, melainkan kejahatan yang luar biasa.

"Ini kejahatan luar biasa jadi Polri harus didorong untuk berani bertindak maksimal, karena harus ada efek jera terhadap pelaku. Dan bukan tidak mungkin temuan ini memiliki efek domino terhadap pelaku lain yang bertindak serupa," ungkap Wira yang juga dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, kemarin.

Penggelapan solar bersubsidi kata Wira tidak hanya merugikan negara, melainkan juga "memiskinkan" nelayan di Kepri. Nelayan tidak dapat melaut lantaran tidak mendapatkan solar yang murah untuk menghidupkan mesin pompong.
"Kasus solar bersubsidi ini bukan pertama kali terjadi di Kepri," katanya.

Upaya pengusutan kasus penyalahgunaan dan penyelewengan distribusi BBM subsidi berupa solar sebagaimana yang ditemukan oleh aparat hukum di Kepri belakangan ini seharusnya dapat menggunakan standar maksimal. Keseriusan aparat kepolisian lanjut Wira tidak cukup hanya sebatas komitmen lisan saja, namun diharapkan dapat menggunakan kewenangannya secara luas dengan memungkinkan diterapkannya UU Tipikor selain UU Migas.

"Seingat kami, Kapolda Kepri sudah pernah menyatakan indikasi kerugian negara yang sangat besar akibat kasus ini. Itu artinya, Polri tidak perlu ragu lagi untuk menggunakan juga UU Tipikor sebagai bentuk keseriusan dalam pengusutan kasus ini," ujarnya.

Menurut dia, penggunaan UU Tipikor juga dapat membuka akses yang luas untuk menjerat kemungkinan terlibatnya oknum pelaku dari unsur aparatur penyelenggara negara. UU Migas berpotensi hanya menjerat pelaku dari pihak swasta saja ditambah ancaman pidana pada UU Migas relatif lebih ringan daripada UU Tipikor.

Yang tidak kalah penting, kata dia, selain tuntutan standar maksimal terhadap upaya pengusutan oleh Polri, semestinya publik dapat menyaksikan adanya "good will" dari sejumlah pihak yang dapat dikait-kaitkan dengan kewenangan dalam pengaturan penyelenggaraan distribusi BBM bersubsidi sehingga kasus demikian tidak sampai terjadi.

Tetapi sampai hari ini belum didengar apakah ada tindakan internal organisasi atau instansi yang sifatnya displin internal. Atau pun atau paling tidak tindakan evaluasi menyangkut tanggung jawab dan wewenang pembinaan dan pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi baik seperti BPH Migas, Pertamina maupun instansi non departemen yang anggotanya diduga menjadi oknum yang ikut terlibat.

"Nalar publik cenderung yakin bahwa ini bukan kejahatan yang dilakukan oleh koorporasi semata," katanya.

Menurut dia, gerakan "civil society" harus terus diperkuat untuk mengawal pengusutan kasus ini hingga tuntas.
Penghargaan dari salah satu LSM di Kepri kepada media cetak beberapa waktu yang lalu patut diapresiasi dalam semangat membangun kekuatan konsolidasi masyarakat agar kasus ini dapat diusut secara maksimal dan tuntas.

"Ini juga jadi momen konsolidasi pencitraan Polri, tapi pemantauan dan pengawasan oleh masyarakat terhadap pengusutan kasus ini tidak boleh berhenti. Bila perlu konsolidasi gerakan masyarakat sipil dimaksimalkan tidak hanya di tataran media dan LSM, melainkan juga bisa ke kampus-kampus dan masyarakat secara luas," ungkapnya.

Karena itu, kata dia, untuk memberantas penggelapan solar bersubsidi dibutuhkan keberanian pihak kepolisian untuk membuka akses pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelakunya, sehingga tidak hanya sebatas dikenakan pada pelanggaran UU Migas melainkan juga UU Pemberantasan Korupsi.

"Penyediaan BBM subsidi berkaitan dengan beban keuangan negara yang mengalami defisit tiap tahun karena harus membiayai belanja subsidi yang tidak kecil," katanya.

Tersangka

Sebelumnya, Polres Tanjungpinang menetapkan  Bos PT Gandasari Petra Mandiri, Andi Wibowo sebagai tersangka dugaan kasus penimbunan solar di lokasi tambang Seinam, Kijang, Kabupaten Bintan, Kepri. Penetapan ini setelah polisi melakukan pemeriksaan saksi-saksi.

Selain saksi, penetapan tersangka ini juga berdasakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirim polisi ke Kejari Tanjungpinang, Selasa (2/10) lalu. Surat itu bernomor SPDP/58/X/2012/Reskrim atas nama Andi Wibowo dan kawan-kawan.

PT Gandasari merupakan grup perusahaan yang bergerak di beberapa bidang usaha dan jasa antara lain sektor pertambangan, bongkar muat, agen pengiriman, pemilik kapal, transportasi  dan tim balap motor. Dalam situs resmi perusahaaan ini tertulis mereka punya slogan Do Better dan Melayani Lebih Baik.

Grup tersebut memiliki sejumlah perusahaan antara lain Gandasari Resources, Gandasari Aditya, Gandasari Shipping Line, Gandasari Racing Team. Gandasari Resources terlibat dalam pertambangan bauksit di Bintan dan pertambangan lainnya.Dalam situs ini juga diklaim hasil tambang telah diekspor ke negara lain seperti China.

Andi Wibowo Komisaris PT Gandasari yang saat ini tersandung kasus dugaan penimbunan BBM Solar di Seinam Bintan ternyata mempunyai hobi balapan, bukan sekedar hobi ia bahkan sering terjun langsung diarena balap.

Andy Wibowo, pengusaha muda yang berusai 22 tahun ini dikenal dikalangan dunia balap sebagai pemodal Gandasari Racing  Team (GRT) yang bermain di IndoPrix dan MotoPrix. Tim ini bahkan diperkuat pembalap Nasional Irwan Ardiansyah. Irwan juga bertindak selaku manajer GRT, termasuk GRT garuk tanah alias motocross.

Seperti dilansir situs ottosport pada 5 Mei 2012 lalu di Sentul Kecil, Andy Wibowo terlihat menggunakan wearpack dan menggeber motor balap disirkuit tersebut.

Ia mengaku sangat mencintai balap motor yang merupakan salah satu hobinya yang tidak dapat ditinggalkan.Tak hanya puas memiliki tim motocross Gandasari Pertamina INK IRC Racing Team yang sudah berjalan sejak tahun 2010 lalu, Andy Wibowo, sang owner, juga bikin tim baru, yakni Gandasari Nissin Pertamina Enduro 4T INK Racing Team. Tim ini khusus turun di Indoprix dengan tunggangan Yamaha. Disamping itu ia juga menggawangi tim balap turing dengan mengandalkan mobil Honda All New Jazz.

Sementara itu, Polda Kepri hingga kini belum menetapkan satu pun tersangka kasus penyelewengan solar oleh PT Gandasari sejak penanganan kasus tersebut diambil alih dari Polres Tanjungpinang.

Dalam kasus ini sebelumnya Polres Tanjungpinang telah menetapkan bos PT Gandasari, Agus Wibowo jadi tersangka.
Meski belum ada tersangka yang ditetapkan Polda, namun Kapolda Kepri, Brigjen Pol Yotje Mende saat ditanya wartawan siapa yang berpeluang menjadi tersangka, ia mengaku Direktur Utama  PT Gandasari yang paling bertanggung jawab. Namun pihaknya tidak mau ceroboh dalam menetapkan tersangka secara buru-buru.

"Dirut PT Ganda Sari yang paling bertanggung jawab. Kita tak mau buru-buru. Insya Allah akan ada tersangka," kata Kapolda saat ditemui di sela-sela acara sosialisasi MoU Dirjen Pajak dengan Polri di  Planet Holiday Hotel, Batam, Selasa (16/10).

Untuk mengarah adanya tersangka, lanjut Kapolda, saat ini sudah 18 saksi yang dimintai keterangan, di antaranya dari Pertamina, perusahaan sendiri dan saksi ahli serta sejumlah pihak yang dianggap mengetahui kasus tersebut.

"Selain saksi dari 4 perusahaan, kita sudah panggil saksi dari pihak lain," tambahnya.

Kapolda menegaskan pihaknya masih terus memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan. "Kami masih terus panggil saksi, karena memang tidak boleh buru-buru," katanya.

Ia  berjanji  tetap memproses secara hukum semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Namun lanjutnya, ia dan anggotanya tak mau takabur.

"Siapapun yang terlibat, akan kita proses secara hukum," ungkapnya.

Gubernur Kepri Muhammad Sani mengatakan penegak hukum harus dapat membuat jera pelaku yang menyelewengkan solar.  

"Hukum pelakunya sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga dapat menimbulkan efek jera dan tidak terulang lagi di kemudian hari," katanya.

Ia berharap kasus penjualan solar untuk kepentingan industri yang diduga dilakukan PT Gandasari milik AW dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Kasus itu diharapkan tidak muncul lagi di kemudian hari.

"Ini kasus yang luar biasa, yang telah merugikan negara dan masyarakat. Kami dari dahulu inginkan kasus ini tidak terjadi," ujarnya.

Sumber :

Kasus Karyawan PT. Angkasa Pura I



Masih ingatkah Anda dengan kasus Angkasa Pura I? Kasus ini mengenai pemecatan sejumlah karyawan Angkasa Pura karena berunjukrasa dan kemudian dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Dan ternyata, sekarang kasusnya akan dihentikan kasus tersebut karena dinalai tidak cukup bukti.

"Kasusnya ini sudah dari tahun 2008, kita lihat malah ada upaya meng-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kasus," kata Ketua Umum Serikat Pekerja AP I, Itje Julinar kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Kamis (18/6/2009).

Hal itu terlihat dari Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang diterima Serikat Pekerja AP I pada 15 April 2009. Dalam SP2HP tersebut penyidik menyampaikan bahwa pihaknya telah memanggil saksi ahli dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).

"Disitu disebutkan bahwa Dirut AP I, Bambang Darwoto hanya mengambil kebijakan dengan menskorsing para karyawan yang mogok selama 3 bulan yang tidak berakibat pada hubungan status kerja atau tindakan PHK," kata Itje.

Terkait status Arif Islam, Pegawai Negeri SIpil (PNS) yang diperbantukan di PT AP I dan yang ditugaskan di Bandara Sepinggan Balikpapan, Kalimantan Tengah, saksi ahli menyebutkan bahwa Arif tidak diberhentikan melainkan dikembalikan ke instansinya di Departemen Perhubungan (Dephub).

Serikat Pekerja (SP) AP I menyatakan keberatannya dengan SP2HP yang dilayangkan penyidik terhadap mereka. Menurut Itje, tindakan manajemen AP I itu adalah tindakan yang tidak fair.

"Mogok kerja oleh SP AP I yang dilakukan secara serentak di beberapa bandara semata-mata dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak para pekerja akibat inkonsistensi pihak manajemen," ujarnya.

Itje menilai, tindakan memutasi Arif Islam juga merupakan tindakan balasan dari pihak manajemen. "Tujuan utama dari hukuman mutasi yang diberikan kepada Arif adalah agar Arif tidak dapat lagi menjalankan kegiatannya selaku pengurus SP AP I," bebernya.

7 - 9 Mei 2008 silam, ribuan karyawan AP I melakukan mogok kerja terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB) anatara SP I dengan pihak manajemen AP I. Namun, setelah melakukan aksi tersebut, puluhan karyawan yang tergabung dalam SP AP I, di-PHK.



Kasus ini dilaporkan Itje pada 14 Mei 2008 lalu ke Mabes Polri, dan dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Dalam laporannya, Itje mengadukan Direktur Bambang Darwoto karena menghalangi pekerja untuk mogok, dan menjatuhkan sanksi kepada serikat buruh dan karyawan yang mogok.

Pelanggaran yang dimaksud yaitu pelanggaran terhadap Pasal 143 dan 144 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Pasal 28 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja. "Kami hanya menuntut hak kami," kata Itje.


Sumber :
http://news.detik.com/read/2009/06/18/154925/1150219/10/kasus-phk-karyawan-angkasa-pura-i-akan-dihentikan

http://www.tempo.co/read/news/2009/06/18/057182576/Kasus-Karyawan-Angkasa-Pura-I-Terancam-Dihentikan